Ilustrasi jajanan pasar tradisional
INDOZONE.ID - Ada yang nggak bisa dilawan dari aroma kue tradisional yang menguar di pagi hari, apalagi kalau kita mampir ke pasar tradisional.
Adanya rasa hangat serta nostalgia yang entah kenapa selalu bikin senyum-senyum sendiri.
Kue-kue sederhana seperti lupis, klepon, cenil, gemblong, dan teman-temannya, punya cara sendiri untuk mengisi perut sekaligus hati.
Lupis misalnya, bukan cuma sekadar ketan yang dibungkus daun pisang lalu disiram gula merah cair. Di banyak daerah, lupis jadi simbol kebersamaan.
Di Pekalongan, lupis selalu hadir saat Syawalan, disusun tinggi-tinggi seperti tumpeng, lalu dipotong bareng-bareng. Rasanya manis, tapi yang paling terasa justru hangatnya tradisi.
Baca Juga: 5 Kue Tradisional yang Bawa Keberuntungan di Hari Raya Imlek
Pasar tradisional jadi rumah bagi jajanan-jajanan ini. Di sanalah mereka bertahan hidup, berjejer manis di tampah-tampah bambu, dikelilingi tawa penjual dan sapaan akrab pembeli.
Harganya murah, tapi nilainya nggak ternilai. Ada banyak cerita dan cinta di balik tiap gigitannya.
Yang menarik, dari Betawi sampai Jawa, bentuk dan warna kue bisa beda, tapi rasanya tetap akrab. Di Jakarta ada kue cucur dan kue rangi, di Jawa Tengah ada kue mendut dan kue bugis.
Semuanya punya ciri khas, tapi tetap satu rasa rasa Indonesia. Kue-kue ini sering jadi pelengkap momen-momen penting, kayak arisan, syukuran, sampai hari raya. Mereka bukan cuma makanan, tapi juga simbol silaturahmi.
Sayangnya, makin ke sini, jajanan pasar makin tersisih. Tergantikan donat-donat mahal atau kue-kue viral dari luar negeri.
Padahal, kalau ditelusuri, kue tradisional nggak kalah enak dan lebih sehat. Banyak anak muda bahkan nggak kenal lagi sama cenil atau gemblong. Sedih, kan?
Baca Juga: Resep Apem Nasi: Kue Tradisional yang Lembut dan Legit
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Indonesiakaya.com