INDOZONE.ID - Nasi tumpeng, sebuah hidangan tradisional Indonesia yang kerap hadir dalam berbagai acara perayaan, bukan hanya soal rasa yang lezat.
Di balik bentuknya yang khas dan kelezatan nasi gurih serta lauk pauknya, terdapat filosofi mendalam yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan spiritual.
Bagi Generasi Z yang ingin lebih memahami akar budaya mereka, nasi tumpeng adalah contoh sempurna bagaimana makanan tradisional dapat menjadi cerminan nilai-nilai leluhur yang tetap relevan hingga kini.
Nasi tumpeng berasal dari Jawa, khususnya dari tradisi agraris masyarakat yang memiliki keyakinan tentang hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Bentuk kerucut dari nasi tumpeng menyerupai gunung, yang dalam budaya Jawa melambangkan tempat sakral di mana para dewa tinggal. Dalam konteks ini, gunung dianggap sebagai simbol harapan, doa, dan kekuatan.
Baca Juga: Sambel Tumpeng Koyor Mbah Rakinem: Kuliner Khas Salatiga yang Menggoda Selera Sejak 1950
Menurut beberapa sumber sejarah, nasi tumpeng sudah ada sejak masa kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, di mana masyarakat kala itu kerap membuat persembahan berupa makanan kepada para dewa yang mereka yakini tinggal di gunung.
Nasi tumpeng dianggap sebagai medium untuk menyampaikan rasa syukur dan harapan kepada Tuhan atau para leluhur.
Salah satu hal yang paling mencolok dari nasi tumpeng adalah bentuk kerucut yang memiliki makna filosofis mendalam.
Kerucut pada nasi tumpeng dianggap sebagai simbol hubungan manusia dengan Sang Pencipta, di mana bagian puncak melambangkan keagungan Tuhan, sedangkan bagian bawah yang lebar melambangkan manusia yang hidup di dunia dan berada di bawah kekuasaan-Nya.
Selain bentuknya, setiap komponen dalam hidangan tumpeng juga memiliki filosofi tersendiri.
Misalnya, nasi kuning yang sering digunakan pada tumpeng melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran. Warna kuning pada nasi dipercaya membawa keberuntungan dan kebahagiaan.
Baca Juga: Nasi Tumpeng Hidangan dengan Makna Filosofis
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Bobo.grid.id, Facebook/Grha Budaya Nusantara, Akademi Tata Boga Bandung