Minggu, 30 MARET 2025 • 07:45 WIB

Lebaran Abad Ke-19: Kala Opak dan Dodol Menghiasi Meja Jamuan Kolonial

Author

Dalam tradisi Jawa, misalnya, opak sering kali dihidangkan bersama teh hangat atau kopi tubruk khas Nusantara.

INDOZONE.ID - Bayangin deh, Lebaran zaman dulu tuh beda banget sama sekarang. Gak ada macet-macetan mudik, gak ada promo diskon di online shop, apalagi foto-foto estetik buat Instagram.

Tapi, meskipun sederhana, vibes-nya tetep dapet banget. Nah, salah satu highlight di masa itu adalah makanan khas yang gak pernah absen yaitu opak sama dodol.

Dua makanan ini bisa dibilang bintang utama di meja Lebaran. Pada masa itu, opak yang terbuat dari ketan tidak hanya menjadi makanan ringan, tetapi juga melambangkan keramahan tuan rumah.

Para tamu yang datang bersilaturahmi hampir selalu disuguhi opak yang gurih dan renyah. Dalam tradisi Jawa, misalnya, opak sering kali dihidangkan bersama teh hangat atau kopi tubruk khas Nusantara.

Baca Juga: Resep Es Krim Kurma Creamy dan Lembut, Bikinnya Gampang Banget!

Saat opak disantap, percakapan santai berlangsung, dari obrolan ringan tentang kehidupan sehari-hari hingga diskusi mendalam soal nilai-nilai agama dan tradisi.

Suasana ini mencerminkan keakraban yang mendefinisikan kebahagiaan Lebaran abad ke-19. Di sisi lain, dodol dengan rasa manisnya yang khas memiliki makna yang mendalam.

Dodol membutuhkan proses pembuatan yang cukup panjang dan memerlukan kesabaran tinggi, mulai dari mencampur bahan hingga mengaduk adonan selama berjam-jam.

Di balik kelezatannya, ada filosofi kerja keras dan kebersamaan yang tercermin dari proses pembuatannya.

Baca Juga: Resep Kacang Telur Renyah dan Gurih untuk Lebaran, Mudah Dibuat!

Sering kali, anggota keluarga atau tetangga bergotong royong membuat dodol bersama, menjadikan tradisi ini bukan hanya tentang makanan, tetapi juga tentang menjalin hubungan sosial.

Lebaran pada abad ke-19 juga tak lepas dari pengaruh kolonialisme yang saat itu sedang melingkupi Nusantara.

Beberapa pejabat Belanda yang tinggal di tanah air sering kali ikut serta dalam perayaan lokal. Mereka terkesan dengan kekayaan budaya Indonesia, termasuk makanan tradisional seperti opak dan dodol.

Dalam beberapa catatan, opak bahkan dianggap sebagai bentuk eksotis dari makanan lokal yang unik dan memikat lidah mereka.

Momen-momen ini menjadi ilustrasi menarik tentang bagaimana budaya lokal dan pengaruh kolonial bertemu di meja jamuan Lebaran.

Tidak hanya itu, Lebaran di masa tersebut juga menjadi waktu di mana tradisi lain seperti ziarah ke makam keluarga, pagelaran wayang kulit, dan pembacaan doa bersama dilakukan dengan khidmat.

Kemeriahan sederhana ini diiringi dengan semangat saling memaafkan dan mempererat tali silaturahmi.

Meskipun berbeda jauh dari kemeriahan teknologi dan modernitas zaman sekarang, Lebaran abad ke-19 memiliki pesona tersendiri.

Kesederhanaan dan nilai tradisional yang diusungnya mengajarkan kepada kita arti sebenarnya dari kebersamaan dan saling berbagi.

Opak dan dodol adalah lebih dari sekadar makanan; mereka adalah saksi bisu dari cerita-cerita kebahagiaan dan perjuangan yang terus mengilhami generasi masa kini.

Melestarikan cerita ini bukan hanya soal nostalgia, tetapi juga penghormatan terhadap tradisi yang membangun identitas budaya kita.

Jadi, bagaimana jika kita sesekali mencoba merayakan Lebaran dengan cara lama? Siapa tahu, itu bisa menghidupkan kembali makna mendalam yang mungkin mulai terlupakan.


Banner Z Creators.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Identitas Orang Tugu Sebagai Keturunan Portugis Di Jakarta