Momen-momen ini menjadi ilustrasi menarik tentang bagaimana budaya lokal dan pengaruh kolonial bertemu di meja jamuan Lebaran.
Tidak hanya itu, Lebaran di masa tersebut juga menjadi waktu di mana tradisi lain seperti ziarah ke makam keluarga, pagelaran wayang kulit, dan pembacaan doa bersama dilakukan dengan khidmat.
Kemeriahan sederhana ini diiringi dengan semangat saling memaafkan dan mempererat tali silaturahmi.
Meskipun berbeda jauh dari kemeriahan teknologi dan modernitas zaman sekarang, Lebaran abad ke-19 memiliki pesona tersendiri.
Kesederhanaan dan nilai tradisional yang diusungnya mengajarkan kepada kita arti sebenarnya dari kebersamaan dan saling berbagi.
Opak dan dodol adalah lebih dari sekadar makanan; mereka adalah saksi bisu dari cerita-cerita kebahagiaan dan perjuangan yang terus mengilhami generasi masa kini.
Melestarikan cerita ini bukan hanya soal nostalgia, tetapi juga penghormatan terhadap tradisi yang membangun identitas budaya kita.
Jadi, bagaimana jika kita sesekali mencoba merayakan Lebaran dengan cara lama? Siapa tahu, itu bisa menghidupkan kembali makna mendalam yang mungkin mulai terlupakan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Identitas Orang Tugu Sebagai Keturunan Portugis Di Jakarta