INDOZONE.ID - Jam Gadang itu adalah menara tinggi di tengah kota kaya Big Ben versi Indonesia, dia adalah saksi hidup perjalanan panjang Bukittinggi. Dibangun pada tahun 1927 dengan inisiatif pejabat Belanda, sekarang jam ini menjadi ikon yang paling terkenal di Sumatera Barat.
Tinggi sekitar 27 meter dengan jam besar di empat sisinya dengan diameter 80 sentimeter bener bener kaya Big Ben versi Indonesia. Namanya Gadang berasal dari bahasa minang yang artinya jam besar.
Yang bikin unik, jam ini masih digerakkan dengan sistem mekanik, tanpa listrik. Mesin jamnya dibuat oleh Benhard Vortmann di Jerman dan dikirim dari Rotterdam ke Teluk Bayur, terus dibawa ke Bukittinggi.
Kualitasnya memang luar biasa, soalnya sejak awal dipasang sampai sekarang masih tetap jalan. Di jam itu ada lima tingkat di dalamnya dengan di bagian paling atas yaitu tempat penyimpanan bandul.
Baca Juga: 13 Tempat Wisata di Puncak Ramah Anak Terbaru 2025
Bangunannya berdiri dengan ukuran 6,5 x 6,5 meter lalu ditambahkan dengan bagian tangga sehingga total luas dasarnya sebesar 6,5 x 10,5 meter. Dari dulu sampai sekarang, atap menara ini sudah ganti bentuk beberapa kali, mengikuti siapa yang lagi berkuasa.
Awalnya, bentuk atapnya bulat dengan patung Ayam Jantan menghadap ke Timur. Katanya itu sindiran supaya masyarakat sekitar bangun pagi. Pada saat pendudukan Jepang, atapnya diubah jadi menyerupai kuil Shinto.
Setelah Indonesia merdeka, atapnya diganti lagi jadi bentuk gonjong khas rumah adat Minangkabau. Bentuk yang ini masih bertahan sampai sekarang.
Selain sebagai penunjuk waktu, Jam Gadang pernah jadi tempat pengibaran bendera merah putih pertama kali di Bukittinggi setelah proklamasi kemerdekaan. Waktu itu sempat terjadi ketegangan dengan tentara Jepang.
Baca Juga: Liburan di Ibu Kota! 12 Destinasi Wisata Jakarta Paling Update 2025
Pemuda bernama Mara Karma yang memimpin massa buat ngibarin bendera di puncak menara. Tapi tidak semua kenangan di Jam Gadang indah.
Pada masa konflik PRRI, tentara Indonesia mengeksekusi ratusan orang di bawah menara ini. Hanya belasan yang benar-benar pasukan PRRI, sisanya warga sipil, Mayat mereka kemudian dijejerkan di halaman menara.
Setelah kejadian itu, tentara sempat membangun tugu kemenangan di dekat menara. Reliefnya menggambarkan penghinaan terhadap masyarakat. Tugu itu kemudian dihancurkan di masa pemerintahan Gubernur Harun Zain.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wikipedia