Dari sekian banyak objek wisata menarik di Yogyakarta, dua beringin di tengah Alun-Alun Kidul Keraton Yogyakarta bisa dibilang salah satunya yang paling banyak dikunjungi.
Selain cocok untuk tempat santai sambil menyantap jajanan, alun-alun tersebut memiliki daya tarik oleh keberadaan dua pohon beringin di tengahnya.
Yang bikin orang kepingin datang dan selalu penasaran, adalah karena ada mitos terkait dua pohon beringin itu. Banyak orang percaya bahwa siapa yang berhasil lolos berjalan di tengah pohon beringin itu, akan memperoleh keberuntungan atau kebaikan dalam hidup.
Dua pohon beringin tersebut dinamakan Supit Urang. Selain kedua pohon beringin di tengah, terdapat sepasang beringin lain yang mengapit jalan menuju Plengkung Nirbaya (Plengkung Gadhing). Sepasang beringin ini disebut Kiai Wok. Ada satu lagi pohon beringin di area Alun-Alun Selatan, tumbuh di depan kandang gajah.
Dikutip dari situs kratonjogja.id, masyarakat Jawa memandang pohon beringin sebagai pohon hayat. Pohon yang memberikan hayat atau kehidupan pada manusia, juga memberikan pengayoman dan perlindungan. Pohon yang besar dan rimbun seperti pohon beringin juga dianggap menimbulkan rasa gentar dan hormat.
Penghormatan terhadap beringin sudah ada sejak masa Mataram Islam, kerajaan yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogyakarta.
Pohon beringin termasuk dalam barang yang diangkut pada proses perpindahan keraton Mataram dari Kartasura menuju Surakarta.
Rombongan pengangkut yang membawa empat buah pohon beringin pusaka berjalan di depan, diikuti oleh rombongan pengangkut lainnya. Keempat pohon ini kemudian ditanam kembali di ibukota yang baru.
Bahkan pada masyarakat Jawa masa lalu, dikenal frasa "neres ringin kurung". Frasa yang secara harfiah berarti "menguliti kulit pohon beringin kurung" tersebut dimaknai sebagai "memberontak terhadap kekuasaan raja". Pandangan seperti ini tidak dapat dilepaskan dari bentuk dan sifat pohon beringin.
Pohon beringin memiliki sifat-sifat yang dihubungkan dengan kebesaran Keraton Yogyakarta. Ukurannya besar, tumbuh disegala musim, berumur panjang, dan akar-akarnya dalam dan kuat mencengkram tanah, memiliki kemampuan mengikat air dengan baik. Daun-daunnya kecil rimbun memberi keteduhan dan pasokan oksigen dalam jumlah besar, memberi rasa aman bagi yang berteduh di bawahnya.
Di tengah Alun-Alun Utara, ditanam sepasang pohon beringin. Karena diberi pagar berbentuk persegi, keduanya juga disebut sebagai ringin kurung yang berarti beringin yang dikurung.
Keberadaan sepasang ringin kurung ini tepat di tengah alun-alun dan mengapit sumbu filosofi, yakni garis imajiner yang membujur antara utara dan selatan, menjadi poros bagi tata ruang Keraton Yogyakarta.
Beringin yang di sisi barat dikenal sebagai Kiai Dewadaru, sedang yang di sisi timur dikenal sebagai Kiai Janadaru.
Sebagai pusaka keraton, keduanya turut menjalani upacara Jamasan tiap bulan Sura. Jamasan adalah upacara di keraton untuk membersihkan dan merawat benda-benda pusaka.
Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru dijamas dengan cara dipangkas sehingga tajuknya berbentuk bundar seperti payung. Bentuk payung ini melambangkan pengayoman yang diberikan keraton pada rakyat Yogyakarta.
Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa dan daru. Dewa bermakna sifat-sifat ketuhanan sedang daru berarti cahaya, sehingga Dewadaru dapat diartikan sebagai cahaya ketuhanan. Kiai Janadaru berasal dari kata jana dan daru. Jana berarti manusia, sehingga Janadaru dapat diartikan sebagai cahaya kemanusiaan.
Kiai Dewadaru ditempatkan di sebelah barat sumbu filosofi, di sisi yang sama dengan lokasi Masjid Gedhe yang berfungsi sebagai pusat keagamaan.
Sedang Kiai Janadaru ditempatkan di sebelah timur sumbu filosofi, di sisi yang sama dengan lokasi seperti Pasar Gedhe (Pasar Beringharjo) yang berfungsi sebagai pusat ekonomi. Agama dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat ketuhanan, sedang ekonomi dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat kemanusiaan. Keseimbangan dan keserasian hubungan diantara keduanya merupakan konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu persatuan antara Raja dan rakyat serta kedekatan hubungan antara manusia dan Tuhan.
Konon, bibit Kiai Dewadaru berasal dari Majapahit, sedangkan bibit Kiai Janadaru berasal dari Pajajaran.
Garis keturunan ini terus dijaga tiap kali ada pohon yang rubuh atau mati. Kiai Dewadaru pernah diganti pada tahun 1988, saat beringin tersebut rubuh menjelang wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Kiai Janadaru pernah terbakar dan ditanam kembali karena tersambar petir pada tahun 1961. Sebelumnya, Kiai Janadaru juga pernah diganti pada tahun 1926.
Peristiwa rubuh dan digantinya Kiai Janadaru pada tahun 1926 tersebut dikisahkan cukup rinci pada Serat Salokapatra.
Kiai Janadaru yang sudah sakit selama sekitar dua tahun akhirnya rubuh. Seluruh bagian pohon yang rubuh kemudian dikuburkan tidak jauh dari tempat semula.
Kiai Janadaru kemudian digantikan bibit baru yang berasal dari cangkokannya sendiri. Bibit baru tersebut kemudian ditanam kembali di tempat dahulu Kiai Janadaru tumbuh. Penanaman bibit tersebut dilakukan dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh Patih Danureja VII dan diiringi doa-doa oleh Abdi Dalem Punokawan Kaji.
Saat ini, Kiai Janadaru lebih dikenal dengan nama Kiai Jayadaru. Ada juga yang menyebutnya Kiai Wijayadaru. Begitu pun Kiai Dewadaru, ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Kiai Dewatadaru. Walau demikian, nama-nama ini semua memiliki makna yang sama. Satu mewakili sifat-sifat Tuhan, satu lagi mewakili sifat-sifat manusia.
Bandung Ternyata Sekeren Ini! Punya Alun-alun Cantik Bikin Negara Lain Ikut-ikutan
Ada Playgroundnya, Ini Alun-alun Kota Santri Bukan di Luar Negeri!
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: