Rabu, 23 APRIL 2025 • 15:20 WIB

Masjid Raya Baiturrahman: Rumah Doa, Luka dan Harapan Rakyat Aceh

Author

Masjid Raya Baiturrahman

INDOZONE.ID - Di tengah Kota Banda Aceh, terdapat bangunan yang megah yang menjadi saksi sejarah dari lambang keteguhan hati rakyat Aceh, yaitu Masjid Raya Baiturrahman.

Di kejauhan adanya kubah hitam tampak anggun mengapit langit, berdampingan dengan menara tinggi yang seolah menceritakan tentang masa lalu yang bergejolak.

Ini bukan sekadar Masjid, tapi saksi sejarah dan simbol keteguhan hati rakyat Aceh yang tak pernah padam.

Banyak yang menyebut Masjid Raya Baiturrahman ini sebagai Masjid Kesultanan Aceh, soalnya dulunya emang dibangun buat Masjid kerajaan.

Ada yang mengatakan bahwa Masjid Raya Baiturrahman mulai berdiri saat masa Sultan Iskandar Muda tahun 1612. Ada juga yang percaya kalau Masjid ini sudah ada sejak 1292, zaman Sultan Alaidin Mahmudsyah. Bentuk awalnya khas banget, arsitektur Aceh klasik, atapnya jerami bertingkat-tingkat, nuansa lokalnya kuat.

Baca Juga: Masjid Raya Sheikh Zayed Solo, Destinasi Wisata Baru yang Memukau untuk Pengalaman Spiritual dan Estetika

Namun, perjalanan Masjid ini nggak selalu damai. Ketika Belanda menyerbu Aceh pada 10 April 1873, Masjid yang asli jadi tempat perlawanan.

Warga Aceh bertahan di dalamnya, menjadikan Masjid sebagai benteng terakhir. Tapi Belanda membalas dengan membakar atap jeraminya. Api membakar bukan cuma bangunan, tapi juga hati dan semangat masyarakat saat itu.

Dalam kekacauan, ibadah dipindahkan ke Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, sementara yang tersisa dari Masjid kerajaan hanya puing dan kenangan.

Baru pada 1879, Belanda membangun kembali Masjid ini. Konon katanya, itu sebagai permintaan maaf atas penghancuran sebelumnya.

Batu pertama diletakkan oleh Jenderal Van Der Heyden bersama Tengku Qadhi Malikul Adil, yang kemudian menjadi imam pertama.
Tapi bukan hal mudah. Rakyat Aceh yang masih terluka hatinya sempat menolak datang dan salat di sana.

Wajar saja, bayangkan harus beribadah di tempat yang dibangun oleh musuh. Namun waktu berjalan, luka perlahan sembuh, dan Masjid ini kembali menjadi tempat yang dipenuhi doa, dzikir, dan harapan.

Seiring waktu, Masjid ini juga ikut berubah. Dulu cuma punya satu kubah dan satu menara, sekarang udah berdiri megah dengan tujuh kubah dan delapan minaret.

Salah satu menaranya bahkan jadi yang paling tinggi di Banda Aceh. Penambahan lima kubah di tahun 1957 juga nggak asal nambah, itu jadi simbol Pancasila yang hidup di tanah rencong.

Baca Juga: Masjid Raya Sheikh Zayed Solo Punya Al-Qur'an Raksasa Pemberian Jokowi

Lalu datanglah hari yang nggak bakal dilupakan. Gempa dan tsunami besar melanda, ribuan nyawa hilang, bangunan hancur, dunia serasa ikut runtuh.

Tapi Masjid Raya Baiturrahman tetap berdiri. Retak sedikit, iya. Tapi dia nggak roboh. Di tengah semua kehancuran, masjid ini jadi tempat berlindung.

Orang-orang lari masuk, cari selamat, saling peluk, berdoa, menangis. Saat itu, masjid ini bukan cuma bangunan. Dia jadi rumah untuk jiwa-jiwa yang masih berusaha bertahan hidup.

Sekarang, Masjid Raya Baiturrahman bukan cuma jadi kebanggaan warga Aceh, tapi juga menjadi ikon Indonesia. Orang datang bukan cuma buat salat, tapi juga buat mengenang, merenung, dan ngerasain kekuatan dari tempat yang udah ngadepin semuanya dan tetap berdiri.

Ini bukan soal kubah atau batu bata, tapi tentang cerita panjang, perlawanan, luka, kesabaran, dan akhirnya berdamai. Warisan, bukan cuma dari masa lalu, tapi juga buat masa depan.

 


Banner Z Creators.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Wikipedia