Kategori Berita
Media Network
Rabu, 12 APRIL 2023 • 08:36 WIB

Masjid Majasem di Klaten, Masjid yang Ternyata Lebih Tua dari Masjid Demak dan Kudus

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Satu lagi masjid tua bersejarah peninggalan Wali Songo berada di Klaten, Jawa Tengah. Masjid ini berada di dukuh terpencil Majasem, Desa Pakahan, Kecamatan Jogonalan, Klaten.

Menurut Takmir Masjid setempat, Tugimin (65 tahun), dukuh ini dulunya memang terpencil. Tidak ada akses keluar ke desa lainnya, jalan satu-satunya hanya melintasi areal persawahan sehingga dukuh Majasem tidak pernah dilewati warga desa lainnya, karena jalannya buntu.

Baca Juga: Sejarah Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang Punya Ikatan dengan Keraton Yogyakarta

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Namun siapa sangka, di dukuh terpencil inilah, berdiri masjid bersejarah peninggalan Walisongo.

Masjid ini, tambah Tugimin, berdiri tahun 1385 sebelum Masehi. Sedang Masjid Demak berdiri tahun 1475 dan Masjid Kudus berdiri tahun 1549.

"Ini sebagai bukti bahwa syiar agama Islam para Walisongo dulu, pernah ke Klaten lebih dahulu," jelas Tugimin kepada Z Creator Edelweis Ratushima, Senin (10/5/2023).

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Ciri khas masjid ini, sama persis dengan peninggalan Walisongo di berbagai tempat. Masjid ini ditopang dengan 16 tiang kayu berbentuk silinder.

Empat buah tiang utama yang tingginya 7 meter adalah buatan dari Sunan Kalijogo, Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati. 12 tiang lainnya dari semua Walisongo.

Selain tiang, peninggalan yang masih ada yaitu sumur tua yang airnya diyakini bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Terutama untuk anak-anak yang lambat berjalan atau lambat bicara.

"Banyak orangtua dari berbagai kota, yang memandikan balitanya di sini. Alasan mereka biar anak cepat jalan dan cepat bicara," tambah Tugimin.

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Banyak yang terbukti akan hal ini. Setelah tiga kali berturut-turut memandikan anaknya disini, tambah Tugimin, banyak orangtua yang kembali dan menceritakan kalau anaknya sudah bisa jalan atau ngomong.

Peninggalan lainnya, di halaman sisi utara (sisi kanan) masjid, ada pohon belimbing kecil peninggalan Sunan Kalijaga yang telah berusia berabad-abad.

Uniknya, pohonnya tetap kecil ramping, berbeda dengan pohon belimbing yang sengaja ditanam warga di sisi kiri, pohonnya tumbuh lebih besar.

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Ciri khas lainnya masjid jaman dulu, ada makam di belakangnya. Itu adalah makam keluarga Pangeran Ngurawan dan para sahabatnya.

Dulu menurut sejarah, masjid ini semula disebut Langgar Kalimosodo, berukuran 10 x 10 meter persegi dengan atap sirap. Para Wali Songo berkumpul di sini sedang membahas untuk membangun Masjid Agung Demak.

Lalu Langgar (masjid kecil atau mushola sekarang) ini, ditinggalkan para Wali Songo. Kemudian diganti oleh Kyai Pandanaran. Namun beliaunya juga meninggalkan Langgar ini, untuk pergi ke Bayat yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari Majasem.

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Setelah 4 abad ditinggalkan, Langgar ini sudah rusak parah bagian atapnya.

Lalu pada tahun 1780, Pangeran Ngurawan dari Keraton Kartasura masuk ke kampung ini bersama empat orang sahabatnya, yaitu Raden Mangun, Ndoro Soma, Raden Amung, dan Raden Wiryo.

Mengapa Pangeran Ngurawan bisa masuk kampung ini? Konon ceritanya, saat perjanjian Giyanti pada tahun 1780, beliau bisa mendamaikan antara Keraton Yogyakarta dan Kartasura. Lalu oleh Belanda, diberi tanah perdikan di kampung yang belum ada namanya ini.

Oleh Pangeran Ngurawan dan para sahabatnya, Langgar ini direnovasi. Yang semula atap dari sirap, diganti dengan genteng.

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Nama Majasem juga ada asal usulnya. Dulu kampung ini tumbuh pohon Mojo dan pohon asem yang besar. Akhirnya diberi nama Majasem, gabungan Mojo dan Asem.

Pangeran Ngurawan dan empat sahabatnya beranak pinak di kampung terpencil ini. Sampai saat ini masih ada sisa-sisa peninggalan rumah dan anak keturunannya.

Namun untuk pohon mojo dan asem tidak ada yang tahu pernah tumbuh dimana. Warga sekitar menyebutnya mukso atau hilang secara gaib.

Untuk makam di belakang masjid atau sisi barat, adalah makam keluarga darah biru yaitu Pangeran Ngurawan dan sahabatnya.

Setelah direnovasi, Langgar ini berubah sebutan menjadi masjid. Pada tahun 1850, seorang Belanda bernama Tuan Dumaker, merenovasi masjid ini.

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Lalu pada tahun 1934, seorang janda kaya ingin membangun teras dan palastren. Setelah mendapatkan izin dari Keraton Surakarta, dibangunlah teras dan palastren, sehingga masjid semakin luas.

Lalu pada tahun 2001, saat ada pengajian akbar, seorang Mubaligh besar dari Mlinjon, Klaten, bernama Sutamaji memberi nama masjid ini Baitul Makmur. 

Saat Takmir Masjid menghadap Raja Keraton Surakarta PB XII dan menceritakan perjalanan nama masjid, PB XII memberi nama menjadi Masjid Al-Makmur.

Setelah itu pada tahun 2003, pihak Purbakala yang mencatat masjid ini sebagai Cagar Budaya, memberi nama Masjid Majasem. Namun warga sekitar tetap menyebutnya Masjid Al-Makmur Majasem.

Mengapa disebut pedukuhan terpencil? Karena, menurut Tugimin, dukuh ini terpisah dari dukuh lainnya di Desa Pakahan. Tidak ada akses jalan masuk. 

Satu-satunya jalan yaitu melintasi areal persawahan. Sehingga warga lain tidak ada yang masuk atau melintas kampung sini, karena jalannya buntu.

Masjid Majasem di Klaten. (Z Creators/Edelweis Ratushima)

Namun atas kegigihan warga, mereka swadaya membangun jembatan pada tahun 2002. Setelah ada akses jembatan, kampung ini tidak terisolir lagi. Saat ini, warga juga tengah berproses membangun gedung TPQ di lahan seberang masjid.

Salah seorang tokoh masyarakat lainnya, Koko, berkat Masjid kuno yang nilai sejarahnya luar biasa ini, kampung Majasem terkenal secara nasional.

Dulu diakui, masyarakat belum melek sejarah. Sekarang warga dengan senang hati melayani berbagai pertanyaan mengenai sejarah masjid ini, bila ada yang datang bertanya.

Baca Juga: Menengok Masjid Muhammad Cheng Ho di Purbalingga, Desainnya Mirip Klenteng

"Sebagai warga, kami sangat bangga dengan adanya masjid ini. Nama kampung kami menjadi terkenal, sehingga banyak yang datang ke masjid ini dari berbagai kota. Ada yang dari Cirebon, Ponorogo, Madiun, Jakarta, dan lain-lain," kata Koko.

Ya, kampung terpencil ini sekarang tengah bersolek dengan berbagai pembangunan. Bahkan, setiap ada perlombaan kebersihan, kampung ini selalu juara.

Artikel Menarik Lainnya: 

Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk bikin cerita dan konten serumu serta dapatkan berbagai reward menarik! Let's join Z Creators dengan klik di sini.

Z Creators

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

Masjid Majasem di Klaten, Masjid yang Ternyata Lebih Tua dari Masjid Demak dan Kudus

Link berhasil disalin!