Pendakian Agustinus Dwi Cahyo di Gunung Everest, Nepal. (Instagram/agustinusdwicahyo)
Bermain di alam terbuka memberikan kesempatan pada kita untuk mengenali diri lebih dalam. Bukan hanya tentang perjalanan, melainkan makna kehidupan untuk bekal di masa mendatang. Inilah yang dirasakan penggiat kegiatan alam terbuka, Agustinus Dwi Cahyo.
Masih terekam jelas dalam ingatan Tinus saat pertama kali mengakrabkan diri dengan alam terbuka. Kala itu, Tinus masih duduk di Sekolah Dasar, berlarian dan bermain di alam terbuka menjadi suatu kegiatan yang tak pernah dilewatkan.
Beruntung, Tinus tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang juga mencintai alam bebas. Bersama keluarga, ia kerap melakukan aktivitas seru seperti berkemah di kawasan wisata alam dan konservasi, atau bermain di desa-desa kaki gunung, menikmati indahnya pemandangan alam serta air terjun.
Di tahun 2005, saat masih duduk di bangku SMA, Tinus memberanikan diri untuk mengikuti pendakian ke Gunung Gede Pangrango. Rasa penasaran yang besar mampu mengalahkan ketakutan yang sempat dirasakan. Tentunya juga diimbangi dengan menggali pengetahuan dan riset, serta didampingi oleh para pelatih demi menciptakan pendakian yang tetap aman dan nyaman.
"Minimnya pengalaman membuat saya sempat takut, namun berbekal pendidikan dan pelatihan yang didapat dari Sispala (Siswa Pecinta Alam) membulatkan tekad saya untuk berani mendaki gunung pertama saya saat itu," kata Agustinus Dwi Cahyo, saat dihubungi Indozone, Rabu (24/6/2020).
Kemudian di tahun 2010, Tinus mengikuti Pendidikan Dasar di Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung atau Wanadri. Melalui pendidikan dan pelatihan Wanadri, Tinus semakin kaya akan informasi dan keilmuan tentang berkegiatan di alam bebas.
Seiring berjalannya waktu, lelaki berusia 29 tahun ini sudah berhasil mendaki lebih dari 20 gunung yang ada di Indonesia. Pencapaian ini adalah pengalaman sekaligus salah satu guru terbaik dalam perjalanan hidupnya.
Pendakian di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh, menjadi pengalaman pendakian yang paling berkesan. Meskipun bukan menjadi gunung tertinggi di Indonesia, gunung Leuser menawarkan berbagai macam tantangan bagi para pendaki.
Untuk menuju puncak Leuser, pendaki harus menyusuri punggung gunung yang panjang dengan puluhan lembah, formasi hutan tua dengan pepohonan besar, hutan lumut, hutan perdu atau tumbuhan berkayu, sampai jalur aktif satwa liar.
"Pendakian di Leuser menjadi salah satu paket lengkap. Mulai dari pengelolaan tim, dinamika jalur perjalanan sampai manajemen pendakian," cerita Tinus.
Tak pernah ada pendakian yang paling susah atau paling gampang, setiap gunung memiliki karakteristik masing-masing. Dibutuhkan persiapan yang matang saat melakukan pendakian, karena semua gunung mengandung dan mengundang bahaya.
"Bagi saya setiap perjalanan ke gunung merupakan perjalanan spiritual tanpa batas. Bukan sekadar mendaki sampai puncak kemudian mengibarkan bendera. Tapi lebih dari itu, di mana kita melakukan perjalanan ziarah, mengagumi karya Tuhan yang luar biasa dan yang paling penting mengenali diri sendiri," tutup Tinus.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: