Pantai Bo'a di NTT Jadi Private Beach Pihak Asing, Ribuan Warga Bikin Petisi Desak Pemerintah Bertindak
INDOZONE.ID - Persatuan Selancar Ombak Indonesia (PSOI) bersama masyarakat Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengajukan petisi untuk menolak penguasaan akses ke Pantai Bo'a oleh pihak asing.
Petisi ini muncul lantaran Pantai Bo'a yang terletak di Desa Bo'a, Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao, NTT, dijadikan private beach oleh pihak asing.
Petisi dimulai pada 14 Februari 2025, dan telah mendapatkan lebih dari 1.400 tanda tangan sebagai bentuk dukungan terhadap upaya mempertahankan hak masyarakat.
Hal yang disoroti dari kasus ini adalah dampak negatif dari penguasaan, termasuk hilangnya aksesibilitas bagi nelayan lokal, wisatawan domestik, maupun mancanegara, serta peselancar yang selama ini menjadikan Pantai Bo'a sebagai destinasi utama.
Dalam petisi tersebut, mereka meminta tindakan tegas dari pemerintah daerah guna menghadirkan kebijakan yang adil bagi semua pihak.
Baca Juga: Wae Rebo, Desa Adat Eksotis di NTT yang Dijuluki “Kampung di Atas Awan”
Isi Petisi
Berikut isi petisi yang ditulis PSOI dan masyarakat Kabupaten Rote Ndao.
"Kepada Yth.
Penjabat Bupati Kabupaten Rote Ndao
Kabupaten Rote Ndao telah menjadikan pariwisata sebagai prime mover pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Hal ini bereskalasi positif bagi kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara, pertumbuhan investasi lokal dan internasional guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam perjalanan, muncul hal ikutan yang berdampak pada kerugian ekonomi dan potensi konflik sosial ketika adanya monopoli akses, aset, dan perekonomian pada suatu kawasan ekonomi. Menjadi rahasia umum bahwa kawasan wisata internasional Pantai Bo’a sementara berproses menuju kawasan milik pribadi/korporasi oleh PT. Bo’a Development dan Nihi Rote Manajemen (pengelola resort dengan reputasi eksklusif di Kab. Sumba Barat).
Dampak aksi di atas berpengaruh pada penguasaan pesisir, jalur hijau, serta aksesibilitas bagi masyarakat/nelayan lokal, pengunjung lokal, dan internasional, yakni peselancar menuju spot ombak berskala internasional di kawasan Pantai Bo’a.
Kami, sebagai masyarakat di kawasan Rote Barat, membutuhkan tindakan tegas oleh pemerintah daerah dengan menghadirkan kebijakan demi solusi yang adil.
Beberapa catatan sebagai pedoman/referensi kami, masyarakat, dalam menyampaikan kronologi penguasaan lahan dan pembatasan sebagai berikut:
A. Kawasan wisata Pantai Bo’a menjadi perhatian publik di akhir tahun 1990-an ketika kawasan selancar Nemberala mulai didatangi peselancar internasional. Atas keadaan yang berkembang saat ini, sejak tahun 1997 masyarakat dan pemerintah menyepakati dibangun akses ke Pantai Bo’a dari jalan raya (samping lapangan bola kaki) dengan sumber anggaran yang digunakan dari Inpres Desa Tertinggal (IDT). Mempedomani persetujuan masyarakat pemilik tanah, kegiatan pekerjaan jalan ikut melibatkan swadaya masyarakat.
Hasilnya, akses jalan ke Pantai Bo’a terbuka untuk umum. Hal ini berdampak positif bagi penyelenggaraan event selancar internasional, yakni Rote Island Surf Exhibition tahun 2000 (pertama dilakukan ketika Rote Ndao masih ada dalam wilayah administrasi Kabupaten Kupang), Rote Open 2002, Rote Open 2004, Billabong Rote Open 2008, Billabong Rote Open 2009, serta secara berturut-turut Pemerintah Kabupaten Rote Ndao membangun kemitraan penyelenggaraan lomba selancar tingkat nasional tahun 2012 hingga 2017. Sebagai tindak lanjut, Dinas Pariwisata Kabupaten Rote Ndao membangun fasilitas penunjang pariwisata, yakni beberapa unit lopo, pentas (panggung) permanen, tower penjurian, dan sanitasi/WC umum dari APBD Kabupaten Rote Ndao.
B. Pada tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao (Dinas Pariwisata Kabupaten Rote Ndao) melakukan pendekatan/negosiasi dengan pemilik tanah. Dalam kesepakatan, kawasan sejumlah kurang lebih 6 (enam) hektare diserahkan untuk dijadikan sebagai venue penyelenggaraan event selancar.
Selanjutnya, akan dibangun fasilitas penunjang pariwisata yang pengelolaannya diserahkan kepada kelompok masyarakat (pemilik tanah). Namun, kesepakatan ini tidak ditindaklanjuti bahkan aset daerah yang telah dibangun di atas lahan dimaksud dibongkar seluruhnya. Selanjutnya, oleh Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, pemanfaatan kawasan diserahkan kepada PT. Bo’a Development, yakni melalui Nota Kesepahaman Nomor: HK.09 TAHUN 2011 Nomor: 01/NK/BO’A-KRN/IX/2011.
C. Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dan Pemerintah Desa Bo’a melaksanakan pengerjaan jalan desa, yakni dari jalan raya (samping SDN Bo’a) hingga Pantai Bo’a sepanjang 600 meter, tanpa ada keberatan dari pihak mana pun. Jalan desa dimaksud dikerjakan dengan melibatkan swadaya masyarakat dan pemilik lahan.
Pada waktu bersamaan, akses jalan kedua ini memiliki riwayat kontrak antara pemilik tanah dan beberapa investor asing sebelumnya. Para investor asing ini secara sukarela menyerahkan jalan yang sudah dikontrakkan kepada pihak Pemerintah Desa Bo’a secara tertulis guna dijadikan sebagai jalan desa.
Selanjutnya, proses sertifikasi yang dilakukan oleh pihak pertanahan dalam hal ini Kantor ATR Kabupaten Rote Ndao terhadap permohonan pemilik tanah menghasilkan sertifikat-sertifikat yang berbatasan langsung dengan jalan desa sebagaimana tertera dalam gambar peta dan denah. Ironisnya, secara sepihak pihak PT. Bo’a Development mengambil alih penyewaan tanah dimaksud serta berusaha mengaburkan status jalan desa menjadi jalan privat dengan mengabaikan kewenangan Pemerintah Desa Bo’a dan masyarakat.
D. Pada tahun 2018, lewat APBD Kabupaten Rote Ndao dialokasikan jalan lingkar Bo’a pada ruas Rinalolon–Ndorobonggo. Sebagian dana dialihkan pengalokasiannya untuk pengerjaan jalan lingkar Bo’a (lapen) menuju Bo’a Development (bukan ke lokasi Pantai Bo’a).
Demi kelancaran pengalokasian anggaran kegiatan jalan dimaksud, oleh Pemerintah Kecamatan Rote Barat dan Pemerintah Desa Bo’a, masyarakat difasilitasi untuk menghibahkan tanah mereka. Tepatnya pada tanggal 14 September 2018, lima orang pemilik lahan menandatangani surat pernyataan pembebasan lahan yang isinya menyatakan mereka bersedia menyerahkan tanah kepada Pemerintah Kabupaten Rote Ndao untuk pekerjaan peningkatan ruas jalan lingkar Bo’a menuju Bo’a Development sepanjang 250 meter dengan syarat Pemerintah Kabupaten Rote Ndao akan membuka jalan bagi masyarakat ke pantai. Apabila dikemudian hari Pemerintah Kabupaten Rote Ndao tidak membuka akses, maka mereka akan menutup ruas jalan dimaksud.
E. Pada tanggal 12 September 2024, pihak PT. Bo’a Development melakukan pemblokiran jalan sertu huruf (A dan C) secara sepihak serta melarang masyarakat melewati akses yang di atasnya dibangun dana IDT TA 1997, PNPM TA 2013, serta APBD Kabupaten Rote Ndao TA 2018.
Adapun bukti larangan adalah penutupan akses dengan pintu gerbang, portal (palang masuk), serta tanda larangan bertuliskan “Zona Konstruksi Tanah Pribadi, Dilarang Masuk.” Di samping pintu masuk didirikan pos jaga dan dikawal oleh petugas keamanan selama 24 jam. Akibatnya, masyarakat nelayan, pengunjung, peselancar lokal, dan peselancar mancanegara tidak dapat mengakses pantai, laut, dan gelombang seperti biasanya.
Berdasarkan sejarah, kronologi, dan beberapa dokumen, masyarakat memiliki legal standing dan hak secara turun-temurun dalam memanfaatkan akses dimaksud dengan bebas. Oleh karena itu, kami seluruh elemen masyarakat yang bertanda tangan di bawah ini menyampaikan:
- Pemerintah Kabupaten Rote Ndao harus mengembalikan akses jalan umum ke Pantai Wisata Bo’a.
- Pihak PT. Bo’a Development harus menghentikan aksi pencaplokan akses jalan umum serta segala tindakan intimidasi terhadap semua pihak yang hendak memasuki kawasan Pantai Bo’a.
- Masyarakat Desa Bo’a dan Nusakh Delha menuntut pemerintah agar segera membuka akses tersebut. Jika tidak ada penyelesaian yang tuntas, maka kami masyarakat akan menyikapi dengan tindakan yang lebih tegas.
Demikian surat ini kami sampaikan agar dapat ditindaklanjuti dengan hati nurani dan penuh tanggung jawab kepada negara, masyarakat, dan terlebih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kami yang bertanda tangan di bawah ini,
Perwakilan Unsur Masyarakat".
Baca Juga: Sarkem Fest Kembali Digelar Tanggal 21 - 22 Februari Besok, Begini Rangkaian Acaranya
Petisi ini ditandatangani oleh beberapa tokoh, seperti warga lokal, pengusaha lokal, hingga tokoh adat, antara lain:
- Aris Manubulu dan Yefta Ndun, selaku tokoh masyarakat.
- Kristian Tarhani dan Hendra Hangge, selaku pengusaha lokal.
- Apson Mbatu dan Jonathan Hangge, selaku tokoh adat.
- Mersi Martinus Hangge dan Oskar Adu, selaku tokoh pemuda.
- Yanse Tassie, selaku tokoh perempuan.
- Ardi Mbatu, selaku kelompok sadar wisata.
- Erasmus Frans Madato, selaku persatuan selancar ombak.
Melalui petisi yang sudah ditandatangani ribuan orang ini, mereka mendesak pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan tegas guna mengembalikan hak akses masyarakat.
Kasus ini menjadi sorotan karena mencerminkan konflik antara kepentingan investasi dan hak publik atas ruang pesisir yang seharusnya dapat dinikmati oleh semua orang tanpa diskriminasi.
Penulis: Eliani Kusnedi
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Instagram @psointt