INDOZONE.ID - Buat banyak orang Indonesia, semur mungkin cuma dianggap sebagai lauk rumahan yang manis dan berkuah. Tapi kalau kita gali lebih dalam, semur ternyata menyimpan cerita panjang soal sejarah, budaya, dan identitas kuliner Betawi.
Asal-usul semur di tanah Betawi diperkirakan muncul sejak abad ke-19. Kata “semur” sendiri berasal dari bahasa Belanda, smoor, yang artinya teknik merebus daging secara perlahan.
Saat budaya kolonial bertemu dengan rempah-rempah Nusantara, semur pun mengalami transformasi.
Baca Juga: Bekal Istimewa Empal Serundeng: Simpel, Awet, dan Bikin Pasangan Anda Makin Sayang!
Bumbu seperti pala, cengkeh, kayu manis, dan kecap manis jadi komponen penting yang membentuk rasa khas semur seperti yang kita kenal sekarang.
Di masyarakat Betawi, semur punya arti yang lebih dalam dari sekadar makanan sehari-hari.
Hidangan ini sering muncul di berbagai acara penting. Mulai dari Lebaran, khitanan, sampai pernikahan.
Baca Juga: Renyah Maksimal! Resep Pastel Mini Abon yang Wajib Kamu Coba
Varian semur juga beragam. Yang paling populer di antaranya adalah Semur Daging, Semur Jengkol, dan Semur Terong. Masing-masing punya cita rasa dan penggemar setianya.
Tapi seperti banyak kuliner tradisional lainnya, semur juga menghadapi tantangan zaman.
Gaya hidup cepat, tren makanan instan, dan perubahan selera generasi muda bikin hidangan klasik seperti semur mulai terpinggirkan.
Padahal, kuliner seperti semur punya potensi besar. Bukan cuma dari sisi budaya, tapi juga sebagai kekuatan ekonomi lokal. Tinggal bagaimana cara mengemas dan mempromosikannya agar tetap relevan.
Baca Juga: Sejarah dan Asal Usul Jenang, Makanan Ringan Tradisional Khas Kudus
Dari riset yang dilakukan Untari dan tim (2018), menjaga eksistensi semur butuh strategi yang jelas.
Mulai dari promosi yang menyasar generasi muda, kemasan yang menarik, sampai pelatihan bagi pelaku usaha kuliner agar bisa terus berkembang.
Semur adalah penghubung antara masa lalu dan masa kini. Menjaganya tetap hidup bukan hanya tugas para pelaku kuliner, tapi juga kita semua yang ingin warisan budaya tetap lestari dan dinikmati generasi selanjutnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal