INDOZONE.ID - Pernahkah kamu mendengar soal bangsa Mongol? Benar, sebuah bangsa maju dan unggul dalam taktik perang pada abad ke-13.
Ternyata kesuksesan bangsa Mongol tidak terlepas dari kegiatan rutin yang kerap mereka adakan setiap tahunnya, yakni bernama festival Naadam.
Festival Naadam yang disebut juga sebagai Eriin Gurvan Naadam, memiliki makna 'Tiga Permainan Lelaki'.
Sekilas, kita berpikir bahwa pasti festival Naadam hanya dikuti oleh pria saja. Namun, dalam realisasinya banyak wanita yang juga mengikuti perlombaan dalam festival ini.
Festival Naadam dilakukan selama beratus-ratus tahun, diperkirakan sudah ada saat kepemimpinan Genghis Khan pada abad ke-13.
Awalnya, festival ini merupakan ajang unjuk kebolehan para prajurit dalam keterampilan peperangan dan bertahan hidup masyarakat nomaden, seperti gulat, pacuan kuda, dan memanah.
Tujuan tersirat festival Naadam saat itu bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk melatih ketangkasan dan kemampuan fisik prajurit Mongol yang sangat penting dalam menjaga wilayah kekuasaan dan memperluas kekaisaran mereka.
Baca Juga: Menggali Makna Festival Bau Nyale: antara Legenda dan Kenyataan di Pulau Lombok Selatan
Festival Naadam berkembang seiring waktu dan mengalami beberapa perubahan terutama pada masa Dinasti Qing (1644-1912), ketika Mongolia berada di bawah kendali Manchu.
Setelah Mongolia mendeklarasikan kemerdekaannya dari Tiongkok pada tahun 1911 dan mendirikan pemerintahan theokratis di bawah Bogd Khan, Naadam semakin dipandang sebagai simbol kebanggaan dan kedaulatan nasional.
Walau telah menjadi negara sendiri, terdapat elemen upacara dari Tiongkok dan Manchu yang diserap dalam perayaan Naadam, namun esensinya tetap untuk mempertahankan tradisi Mongolia.
Tahapan festival Naadam terdiri dari upacara publik dan diikuti oleh kegiatan festival Naadam. Kegiatan festival Naadam merupakan perlombaan dari tiga cabang olahraga yaitu, gulat, memanah, dan pacuan kuda.
Festival ini dirayakan guna memperingati praktik nomaden, shamanisme, dan berburu Mongol kuno.
Pada tahun 1924, saat Mongolia menjadi negara republik, Naadam diresmikan sebagai Hari Nasional Mongolia yang dirayakan setiap tahun untuk memperingati kemerdekaan dan identitas Mongolia di Stadion Nasional Ulan Bator. Sejak saat itu, Naadam berkembang menjadi festival nasional.
Pelaksanaan festival Naadam diawali dengan upacara pembukaan yang meriah di Stadion Nasional Ulaanbaatar, biasanya dihadiri oleh pejabat tinggi negara, termasuk Presiden Mongolia.
Upacara ini melibatkan parade, tarian tradisional, musik, dan berbagai bentuk pertunjukan budaya yang menggambarkan kebanggaan nasional Mongolia.
Setelah upacara pembukaan dilanjutkan tiga cabang utama olahraga tradisional yang disebut 'Tiga Permainan Lelaki', yaitu gulat, memanah, dan balap kuda.
Baca Juga: Mengenal Tradisi dan Keberagaman Festival Pasola di Sumba
Gulat diikuti oleh banyak peserta, para pegulat mengenakan pakaian tradisional khas yang disebut "zodog" dan "shuudag." Mereka bertarung di lapangan terbuka di bawah pengawasan wasit yang juga mengenakan pakaian tradisional.
Perlombaan memanah diikuti oleh pria dan wanita, dan peserta menggunakan busur tradisional Mongolia untuk menembak sasaran dari jarak tertentu. Setiap tembakan yang sukses disambut dengan nyanyian tradisional yang menandakan poin.
Balap kuda Naadam melibatkan kuda yang dikendarai oleh anak-anak berusia 5-13 tahun, karena dianggap sebagai joki yang lebih ringan dan lebih terampil dalam menunggang kuda cepat. Balapan ini dilakukan di padang terbuka dengan jarak yang bisa mencapai 30 km, bergantung pada kategori usia kuda.
Di tingkat lokal (aimag dan soum), festival Naadam tetap mengikuti format ini namun dengan skala yang lebih kecil.
Naadam berkembang menjadi festival nasional yang tidak hanya memamerkan tiga olahraga tradisional, tetapi juga menjadi acara yang penuh dengan simbolisme nasional dan budaya, menyatukan seluruh masyarakat Mongolia untuk merayakan sejarah, warisan, dan kedaulatan mereka.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: UNESCO