Salah satu suvenir khas Jepang yang paling banyak diburu wisatawan adalah pernak-pernik dari kertas Washi. Mulai dari alat tulis, gantungan kunci, dekorasi rumah, kaligrafi sampai boneka.
Bangsa Jepang mulai menggunakan kertas untuk berbagai kebutuhan, sejak akhir abad ke-5. Bukan sekedar media untuk menulis, kala itu kertas juga digunakan untuk pembuatan pakaian. Inilah akar lahirnya Washi.
Kertas Washi pertama kali dibuat sekitar 1300 tahun lalu. Seiring perkembangan zaman, jenis, warna dan corak washi kian beragam. Karya cipta dari kertas ini juga kian variatif.
November 2014, UNESCO menetapkan Washi sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda. Karena dalam pembuatannya dibutuhkan pengetahuan tradisional, keahlian khusus dan proses pengolahan yang diteruskan dari generasi ke generasi.
Distrik Nishijima “Desa Washi”
Distrik Nishijima di Prefektur Yamanashi berperan penting dalam melestarikan kertas Washi. Karenanya Nishijima dijuluki “Desa Washi”. Dahulu ada sekitar 200 perajin Washi di sini. Sekarang hanya tersisa dua puluh perajin. Kualitas Washi buatan distrik Nishijima terkenal sangat baik. Sehingga jadi favorit para seniman kaligrafi.
Washi terbuat dari serat pepohonan. Salah satunya Mitsumata. Tiga ton kulit batang tanaman ini bisa menghasilkan 30 kilogram kertas. Waktu tepat memproduksi Washi berkualitas adalah saat musim dingin. Karena air dingin bisa menghambat pembusukan bakteri yang ada dalam serat.
Lantunan Lagu Khusus
Produksi Washi di Distrik Nishijima masih mempertahankan cara tradisional. Termasuk di pabrik Yama Juseisi, yang sudah 450 tahun beroperasi. Bubur kertas yang telah dicuci, ditampung dalam bak khusus.
Selanjutnya dicampur air dan perekat dari tanaman Okura. Melalui pipa, adonan kertas dicetak satu per satu. Ukuran dan ketebalannya harus sama. Inilah tahap penting, penentu kualitas.
Ada yang unik dalam pembuatan Washi. Para pekerja melantunkan lagu khusus, sebagai penanda jumlah washi yang telah dicetak. Setiap hari, satu pekerja bisa mencetak 300 lembar Washi.
Pembuatan Washi membutuhkan waktu panjang. Setelah dicetak, washi dijemur selama dua puluh hari, mengandalkan sinar matahari dan kipas angin.
“Washi dari serat pohon mitsumata sangat tipis, sehingga harus dijemur secara tradisional, agar tidak rusak. Dengan cara ini, washi bisa digunakan untuk media kaligrafi,” ujar Shinji Sakai, pemilik pabrik Washi.
Tak jauh dari pusat industri, wisatawan bisa berkreasi dengan Washi. Seorang petugas akan mengajarkan cara mencetak hiasan di atas Washi. Aktivitas ini melatih kesabaran sekaligus mengasah kreativitas. Sebagai bonusnya, kita boleh membawa pulang hiasan yang sudah jadi.
Artikel menarik lainnya:
- Fujiten Snow Resort, Rekomendasi Wisata Ramah Muslim di Kaki Gunung Fuji Jepang
- Malino Highland Resort, Penginapan Nuansa Jepang yang Dikelilingi Pohon Sakura
- Sekai Ramen & Sushi, Rekomendasi Kuliner Jepang Halal di Makassar Rasanya Bikin Tercengang
Bikin cerita serumu dan dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di sini.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: